Setelah kematian Alexander Agung pada tahun 323 SM, kerajaan raksasa Romawi itu pecah berkeping-keping dan menuju periode kekacauan yang panjang dan perebutan kekuasaan yang terus menerus.
Periode ini, yang di kenal banyak orang sebagai zaman helenistik, mulai marknya berdiri sekolah dan aliran filsafat, yang semuanya memiliki inti yang sama yaitu memncoba memadamkan kegelisahan yang di sebabkan peristiwa-peristiwa politik yang ada di luar kendali mereka, Stoicism/stoikisme adalah salah satunya.
Stoicisme ada untuk semua orang, Seneca, Epictetus dan Marcus Aurelius dikenal sebagai “Mahkota Permata” dari Stoicism, ketiga tokoh ini mendedikasikan hidup mereka untuk menerapkan paham Stoic pada tiap kesulitan yang mereka hadapi, dan pemikiran-pemikiran brilian mereka yang mengajarkan kita berbagai hal tentang kondisi manusia.
Jangan Memperbudak Diri Sendiri Pada Orang Yang Mengganggu
Tidak ada orang yang lebih layak untuk berbicara tentang bagaimana rasa di perbudak selain tokoh stoic itu sendiri yaitu Epictetus, dia menghabiskan seluruh masa kecilnya hidup sebagai budak di kota roma.
Bagi kebanyakan orang, pikiran untuk diperbudak adalah jenis hal yang membuat Anda ingin meringkuk seperti posisi janin, dipaksa bekerja dan diperlakukan sebagai milik orang lain adalah sesuatu hal yang terburuk yang bisa terjadi pada Anda.
Inilah yang membuat Epictetus bingung, kenapa semua orang di sekitarnya secara sukarela menempatkan diri mereka ke dalam perbudakan sebanyak puluhan kali perminggu. Epictetus berkata :
Jika ada seseorang memberikan tubuhmu kepada orang asing yang dia temui di perjalanan, kamu pasti akan marah, lalu apakah Anda tidak merasa malu menyerahkan pikiran Anda sendiri untuk menjadi bingung dan kebingungan oleh siapapun yang menyerang Anda secara verbal?
Epictetus
Ketika seseorang menjatuhkan kelapa di atas kepala Anda, mengikat tubuh dan memaksa Anda untuk menjadi budak mereka, pastinya Anda akan sangat marah akan hal itu.
Namun, ketika di kehidupan kita pasti ada saja orang-orang yang melakukan sesuatu yang membuat diri kita tidak nyaman lalu kita membiarkan mereka memperbudak secara mental, kita bereaksi terhadap mereka, kita berdebat dan mencoba memberitahu dengan keras betapa salahnya mereka.
Kita mencoba untuk mencari cara untuk dapat “membalas” mereka, sama halnya ketika ada seorang juragan budak akan mengaitkan kaki Anda ke sebuat pipa pembuangan, kita mengizinkan pikiran kita menuju jalur pemikiran tertentu, tapi ingat, jangan salah : Anda punya pilihan!
Pilih Harapan Yang Masuk Akal
Kita semua pernah mengenal seseorang yang merupakan penggemar fanatik olahraga, orang ini telah menjadi penggemar setia selama bertahun-tahun, tahu nama semua pemain, memili jersey yang bertanda tangan para pemain dan terkadang ada yang melukis perut mereka dan berteriak seperti orang gila.
Betapa konyol dan anehnya untuk terkejut pada apapun yang terjadi di dalam hidup
Marcus Aurelius
Kita juga pernah melihat orang seperti ini meledak kesenangan karena pemain favorit mereka membuat tembakan kemenangan pada sebuah pertandingan, kita juga melihat orang ini berteriak ke TV dengan wajah yang merah atau memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan cara yang berbeda karena frustrasi.
Masalahnya adalah, orang seperti ini membiarkan dirinya di buat bahagia atau marah dengan keputusan atau tindakan orang tertentu yang notabene tidak tahu orang ini siapa atau seorang penggemar.
Sorang stoic akan menunjukkan bahwa ia benar-benar tidak memiliki kendali atas apapun yang terjadi di layar, jadi mengapa membiarkan diri dipengaruhi secara negatif oleh apa yang terjadi di sana? Mereka akan mengatakan bahwa frustrasinya berasal dari harapan yang tidak realistis.
Renungkan Kembali Harapan-harapan Itu
Beruntung bagi kita, para stoic terdahulu menawarkan solusi, Marcus Aurelius, seorang filsuf besar stoic yang juga pernah menjadi Kaisar Roma, menulis ringkasan yang bagus sebuah solusi stoic yang bisa juga kita praktikkan, dia menulis :
Mulailah tiap harinya dengan mengatakan pada diri sendiri : Hari ini aku akan bertemu dengan gangguan, orang yang tidak tahu berterimakasih, orang yang kurang ajar, niat buruk dan keegoisan, semuanya terjadi karena ketidaktahuan para pelaku tersebut tentang apa yang baik dan yang jahat.
Marcus Aurelius
Pernahkan Anda melihat seorang buddhist sedang duduk diam dan bermeditasi sebagai seorang pengamat atas pemikiran mereka sendiri dalam rangka untuk memahami diri mereka dengan lebih baik?
Stoic memiliki ide yang sangat mirip, tetapi lebih proaktif, kita tahu kesulitan akan menghantam kita, kita tahu akan ada gangguan kecil di sepanjang hari kita, jika kita tahu bahwa beberapa orang di luar sana adalah seorang pengemudi yang buruk, lalu mengapa kita masih marah saat mereka mau menyalip kita di jalan bebas hambatan?
Stoic merekomendasikan bahwa Anda harus bangun tiap pagianya, duduk dengan tenang dan bersifat pesimis, berulang kali katakan pada diri sendiri tentang bagaimana orang di jalan bebas hambatan akan memotong Anda, dengan melakukan ini mereka memberi tahu pikiran kita untuk memiliki harapan yang lebih relaistis.
Pikiran Anda Yang Mengendalikan Tubuh Ini
Sebagai manusia kita adalah sebuah makhluk yang berorientasi pada kelangsungan hidup, kita menyukai stabilitas, kita menyukai prediktibilitas, inilah yang menyebabkan mengapa orang pada umumnya memiliki rasa takut akan hal yang tidak di ketahui.
Kita sering berpikiran bahwa kita memiliki kendali penuh atas hal-hal seperti tubuh kita, saldo di rekening bank atau bahkan reputasi kita, tetap stoic berpikiran kita harus mengetahui kalau hal-hal tersebut sangat jauh di luar kendali kita.
Seseorang bisa menjelek-jelekkan diri Anda dan merusak reputasi Anda, seseorang dapat mencuri identitas dan mengambil semua dana di rekening bank Anda, tubuh Anda bisa mengalami penyakit setiap saat dan menggantungkan semua kebahagiaan pada sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa kendalikan adalah sebuah resep kegagalan.
Manusia terganggu bukan karena sesuatu hal. melainkan karena pandangan mereka terhada sesuatu hal.
Epictetus
Stoicism mengajarkan bahwa kita tidak memiliki kendali atas apapun yang ada di luar diri kita, satu-satunya hal yang ada di kendali kita adalah bagaimana reaksi kita terhadap apa yang terjadi.
Tujuan utamanya adalah untuk mencapai kondisi ketenangan mental yang lengkap dan kunci untuk mencapainya adalah dengan kebajikan, tujuan akhir dari kebajikan stoa adalah untuk hidup sesuai dengan alam.
Tetapi bagi orang-orang stoa, hidup sesuai dengan alam bukan berarti kita pergi berwisata ke kebun raya dan berusaha membersihkan tiap sampah dan kototran yang ada disana, Alam itu Tuhan.
Orang-orang stoa adalah seorang Panteistik, mereka percaya bahwa Tuhan adalah alam semesta, gagasan tentang Tuhan ini sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh para pembaca modern saat ini.
Alam semesta itu sendiri adalah Tuhan dan sebuah pencurahan jiwanya yang universal, prinsip panduan dunia yang sama ini, yang beroperasi pada pikiran dan akal, bersama dengan sifat umum dari segala sesuatu serta totalitas yang mencakup semua keberadaan.
Chrysippus
Alam adalah Tuhan dan alasan mengapa alam mengatur dirinya adalah adalah cara Tuhan mengambil tindakan, sebaga seorang manusia yang memiliki kemampuan berpikir yang unik, kita bis menganggap diri kita sebagai pecahan yang kecil dari alasan yang mengatur semua hal yang menempati tubuh, dengan menggunakan alasa itu untuk memahami segala sesuatu sebagaimana adanya akan membuat kita hidup selaras dengan alam.
Berhenti Berpura-pura Anda Tahu Bahwa Semuanya Adalah Buruk
Mari kita kembali pada contoh seorang penggemar olahraga tadi, penggemar olahraga itu salah karena memiliki reaksi marah terhadap sesuatu yang sebenarnya berada di luar kendalinya, tetapi itu bukan satu-satunya point yang orang stoic permasalahkan.
Dia juga membuat penilaian bahwa keputusan wasit itu buruk, kamu stoa mengira dia tidak ada di tempat wait itu berada untuk melakukan itu, merea memisahkan kualitas menjadi dua jenis, ketidakpedulian yang disukai dan ketidakpedulian yang tidak disukai, berikut penjelasannya.
Kebanyakan orang akan menyebut hal-hal seperti kesehatan ata rekening bank yang jumbo sebagai hal yang “baik”, tetapi hal ini tidak baik pada diri mereka sendiri, gagasan ini mengarah kembali kepada seorang filsuf yunani awal bernama Plato, yang mengatakan dalam sebuah karyanya Phaedo bahwa untuk sesuatu yang baik itu tidak akan pernah bisa membantu sesuatu yang buruk.
Jadi bagi orang-orang stoa, bahkan sesuatu seperti kesehatan yang baik dianggap tidak baik secara instrinsik, karena itu bahya sebatas baik untuk sesirang atau sesuatu yang membuatnya sehat, contohnya, Kesehatan yang baik untuk seorang Adolf Hitler pada tahun 1939 bukan sesuatu yang baik.
Karena itu, semua yang orang bijak dapat katakan tentang kesehatan yang baik adalah sesuatu yang tidak mereka pedulikan, tetapi mereka lebih suka memilikinya karena biasanya memiliki output yang baik untuk mereka.
Inti dari ini adalah, bahwa tugas kita adalah bukan untuk membuat penilaian baik atau buruk terhadap berbagai hal tetapi lebih kepada penggunaan nalar dan bagaimana cara kita bereaksi terhadap situasi dan menjadi selaras dengan alam.
Anda Di Tempatkan Disini Untuk Sebuah Alasan
salah satu hal yang orang stoa yakini akan membuatmu menjadi orang yang lebih bahagia adalah menggunakan kemampuan Anda untuk bernalar, stoic berbicara tentang gagasan manusia menjadi Oikeiosis, kata ini merupakan adaptasi dari istilah Yunani Oikos yang lebih dikenal sebagai jenis yogurt di supermarket Yunani, tetapi kata itu sendiri memiliki arti yaitu rumah atau bisa juga orientasi.
Kaum stoa merujuk pada gagasan bahwa setiap benda entah itu serangga, batu, gajah ataupun manusia, semua ini memiliki sesuatu yang telah diletakkan untuk diberi tugas oleh alam.
Untuk seekor sapi memiliki tugas mengunyah rumput, tidur dan bereproduksi, untuk manusia, seperti sapi hanya kita memiliki tugas yang lebih banyak, hal ini yang membedakan kita dari hewan, dan yang secara alami ditugaskan pada kita adalah sebuah alasan.
Segala sesuatu, seekor kuda, anggur, dicipatakan untuk suatu tugas, kegembiraan seorang manusia adalah melakukan sesuatu sesuai dengan kodratnya.
Marcus Aurelius
Hidup ini Tidak Terlalu Singkat
Seberapa besar kita mengkhawatirkan tentang kematian dan mengkhawatirkan bahwa hidup kita akan di persingkat dengan sesuatu yang tragis? Bidang stoicism yang satu ini merupakan keahlian seorang Seneca.
Apa yang tidak diberikan oleh takdir, maka tidak akan bisa diambil.
Seneca
Dia memiliki sebuah risalah yang disebut dengan “On the Shortness of Life”, Seneca berpikir bahwa gagasan bahwa hidup ini terlalu singkat adalaha kesalahpahaman manusia pada umumnya, bukan hidup yang tidak cukup, tapi kita yang terlalu banyak membuangnya atau manyiapnyiakannya.
Dia menceritakan sebuah kisah tentang seorang tahanan yang sedang dikurung di selnya, menunggu hukuman atas kejahatan yang dituduhkan padanya, Kaisar Roma pada saat itu, Caligula, menjatuhkan hukuman mati padanya dan ketika penjaga datang untuk menjemput dan membawanya untuk di hukum mati, dia ternyata malah sedang asyik bermain sebuah game dengan penjaga lain yang bertugas untuk mengawasinya.
Lalu penjaga yang datang tadi segera memberitahu bahwa dia akan dihukum lalu segera menyeretnya pergi untuk menjalani proses hukuman mati, ketika para penjaga ini menyeretnya, dia malah berkata kepada mereka, “Kalian semua adalah saksiku! Saya sedang unggul disana! Saya mengalahkan Dia!”.
Jangan habiskan waktu dengan menderita di saat waktu yang Anda miliki akan berakhir, nikmati hidup selagi masih ada dan berterima kasih pada takdir atas apa yang telah kamu terima selama hidup.
Rasakan Emosi Anda
Seneca berbicara banyak tentang gagasan mengatur emosi, menurutnya emosi itu sendiri adalah tidak rasional, kita harus melatih otak kita untuk dapat berpikir rasional, bagian yang penting dari ini adalah jangan biarkan suatu emosi positif atau negatif terlalu mempengaruhi diri Anda.
Jangan biarkan sebuah pujian datang ke kepala Anda dan membuat Anda berpuas diri dan jangan biarkan satu penghinaan membuat Anda jatuh dan berpikir sebagai pecundang, seperti analogi dalam olahraga, jangan biarkan satu kemenangan membuat Anda berpikir bahwa tim Anda ditakdirkan menjadi juara dan jangan biarkan satu kekalahan membuat Anda tidak yakin dengan masa depan.
Kemarahan Adalah Pilihan
Sebuah bantahan umum terhadap doktrin stoic bahwa perasaan marah terhadap sesuatu bukanlah sebuah pilihan yang dapat dilakukan seseorang secara sadar, Seneca sepenuhnya tidak setuju, dia menulis risalah yang berjudul, “On Anger”, dimana dia menjelaskan secara rinci apa yang terjadi ketika seseorang marah akan sesuatu.
Satu poin kunci yang dapat diambil adalah meskipun waktu yang berlalu diantara ketika sesuatu yang buruk terjadi pada Anda dan ketika Anda merasa ingin marah, Seneca berpendapat bahwa kemarahan sebenarnya adalah sebuat proses yang terdiri dari empat langkah.
- Realisasi. Saat Anda menyadari seorang wasit membuat keputusan yang buruk.
- Marah. Perasaan jijik terhadap wasit yang membuat keputusan buruk.
- Kecaman. Anda mengatakan dengan lantang bahwa wasit itu harus berhebti dan mencopot bajunya lalu cari pekerjaan lainnya.
- Retribusi. Anda melakukan sesuatu untuk balas dendam.
Seneca menyamakan kemarahan dengan suatu perilaku instan yang benar-benar tidak disengaja seperti menggigil ke tubuh kita disiram air dingin.
Hal yang penting dari ini adalah kita dapat menggunakan kekuatan kita pada titik manapun dalam proses empat langkah tersebut untuk mampu menerima bahwa keputusan wasit itu adalah bersifat eksternal dan berada di luar kendali kita.
Ketika Saatnya Tiba, Kita Adalah Seekor Anjing Yang Diikat Di Belakang Gerobak
Gagasan untuk selalu memiliki harapan yang realistis jelas kuat, tetapi bagamana setelah kita rubah harapan kita menjadi masuk akal tapi tetap harapan tersebut tidak terpenuhi?
Kebahagian yang tertinggi terletak pada penerimaan takdir, ketika orang-orang stoic berbicara tentang takdir, mereka tidak berbicara tentang suatu yang ajaib atau menyeramkan, orang-orang stoa percaya bahwa dengan memahami tempat kita di alam dan menerima apapun yang telah disediakan alam bagi kita adalah sangat penting.
Pada kaum stoic awal menyamakan manusia dengan seekor anjing yang diikiat di belakang gerobak, kita tidak dapat mengendalikan kemana kita akan pergi, satu-satunya hal yang dapat kita kendalikan adalah seberapa banyak kita mengeluh dan berjuang di sepanjang jalan.
Referensi
- Philosophizethis. 10 Things The Stoics Can Teach You About Being A Happier Person. http://philosophizethis.org/10-things-the-stoics-can-teach-you-about-being-a-happier-person/